Jumat, 19 Juni 2015

290


Beranda rumah, beberapa hari ini menjadi tempat favoritku. Rintik hujan sejak dua pekan kemarin terus-menerus menyapaku , ditemani secangkir coklat panas dengan asap yang masih menggepul diatasnya.  Akhir-akhir ini, aku mulai membiasakan diri untuk membaca buku setelah sholat ashar. Bukan sekedar novel tapi juga buku motivasi. Seiring itu, aku mulai belajar menulis, buku harian mulai penuh sesak dengan coretan isi hati. Berbagai hal kulakuan agar bisa kukendalikan isi hatiku. Ya, tepatnya aku mulai merasa gelisah.
Kebiasaanku mulai berulang, kutempatkan laptop beserta perkakasnya diatas meja kayu lengkap dengan coklat panas aroma rempah. Sembari kutulis bait-bait puisi bak Kahlil Gibran, aku mulai merasa sedikit lega setelah kutuangkan dalam bait-bait puisi. Konsentrasiku mulai buyar saat obrolan dari facebook berbunyi. Tak kuasa menghindari rasa ingin tahu segera kusudahi tulisanku. tercengang,  “lagi-lagi dia,”gumanku. Sewajarnya, dia memulai obrolan dengan salam dan sudah kewajibanku tuk menjawab. Dalam sanubari aku berharap dia membalas dan membicangkan suatu entitas. Ku tak sanggup menafikan isi hati sendiri, selalu kunanti berbagai macam bahasan topik darinya. Selang beberapa menit suara obrolan memecah lamunanku. Tawa kecil dan senyum tak bisa di sembunyikan, Dia  membalas.  Tidak setiap minggu aku menjumpainya on di jejaring sosial. Sedang aku disini berulang kali menahan rasa kesal, saat dia tak membalas pesanku yang menabun lama bahkan berbulan-bulan. Ah, aku merindukan dia.
ObrolanOff…..
Selalu begitu,
pembicaraan kita terhenti di pertengahan jalan. Hanya kata pembuka tanpa pengakhiran yang jelas. Kau abaikan!. Seusai  sholat Isya’  berjamaah dan membaca ayat suci Al-Qur’an, ku lanjut belajar hingga larut malam. Sunyi sekali, seusai belajar aku menikmati setiap jengkal sisi kamar mungilku yang di balut warna cat biru muda dengan berbagai hiasan dinding, hingga aku terhenti disalah satu sisi, disitu kuletakkan lukisan yang begitu membuatku terbuai, pemberian Qalbi. Begitu banyak kenangan aku dan Qalbi. Sudah sejak kecil kami selalu bersama, namun keluarga kami sangat berbeda bahkan menurut ayah aku tak pantas berteman dengan Qalbi.
Sahib kecil ku dulu, semasa kami 3 sd selalu bersama, berjuumpa didepan gerbang sekolah merupakan agenda rutin kami, sesekali menunggu satu sama lain datang, lalu berangkat menuju kelas bersama. Itupun masih belum cukup, kadang kami masih melanjutkan bermain setelah pulang sekolah. Kalau dia mendapat barang baru, aku akan lekas merenggek meminta apa yang dia punya, begitu juga sebaliknya.  Kemanapun selalu bersama sampai-sampai saat akan masuk SMP kami tak mau berpisah.  Begitulah kami, bahkan saat SMP kami selalu bersama. Rupanya ayah khawatir dengan keadaan kedekatan kita. Ayah selalu menjemputku dan melarangku untuk bersepeda. Dulunya, aku dan Qalbi selalu bersama. Bahkan seringkali dia menjemputku saat akan berangkat ke sekolah. Perubahan sikap ayah kepadaku membuat aku semakin menjauh dari Qalbi, bahkan sekarng dia sudah jarang terlihat, sebagi ketua OSIS dia seakan semakin jauh denganku, organisasi dan teman baru menyibukkannya. Duh!
Karena Ayahku mendapat tugas dinas dikota lain, maka aku harus ikut pindah bersama orang tuaku, awalnya aku menolak keras dengan alasan aku tidak akan melanjutkan sekolah jika harus pindah. Tetap saja aku bersikeras, walaupun ayah memaksaku.Mengurung diri dikamar juga ikut mendukung aksi demoku kepada Ayah. Tapi itu pun tak cukup membuat hati Ayah luluh melihatnya. Bahkan Ayah semakin memaksaku untuk ikut pindah, kali ini tidak dengan cara yang biasa Ayah lakukan, tidak lagi memberiku wejangan 10 kali lipat. Diam-diam  Ayah sudah  mendaftarkan aku untuk bersekolah  di SMA favorit di kota tempat keluargaku pindah nanti, tak lupa Ayah juga memblaclist semua sekolah yang sudah aku incar dikota tempat tinggalku itu. Tujuannya agar aku mau ikut ayah pindah.
Terbesit rasa khawatir karena aku tidak bisa masuk sekolah. Aku sempat mendengar rencana Ayah, dan aku tahu alasan terbesar kenapa Ayah menggajakku pindah. Agar terjauh dari Qalbi. Ayah terlalu jahat dalam hal ini, kenapa aku harus jauh dari sahabatku?. Apakah Ayah iri?. Mungkin hanya beberpa tetes air mataku yang keluar karena aku tak terbiasa menanggis, tapi hati ku terluka. Berlari ke kamar dan mengguncinya, karena saat itu aku masih dalam keadaan labil, yang langsung meluapkan perasaan dengan marah-marah dan mengacak-acak seisi kasurku.
Qalbi bukan anak nakal, juga bukan juga anak yang patut untuk dijauhi, prestasinya juga tak kalah denganku dia juga seorang atlet lari saat aku masih sd. Lalu kenapa ayah ingin menjauhkan Qalbi dariku?petanyaan itu terus bergulat dalam benakku. Aku tak berani menggungkapkan. Aku terlalu takut untuk bertannya kepada ayah.
Ujian sekolah sudah berlalu, pendaftaran SMA sudah mulai berjibun berdatangan. Qalbi akan masuk pesantren. Apakah aku juga akan ikut? Ahh, tidak mungkin. Aku harus ikut ayah. Apakah ke luar negeri? Tidak ! Lalu kemana?  Yah, nanti lihat saja aku pasti akan tau sendiri. Sekarang aku hanya bisa menunggu akan kepastian ayah. Sambil  aku menunggu, aku bermain menghabiskan masa-masa terakhir dengan Qalbi. Qalbi tak pernah tau dimana aku akan pindah. Dan dia juga gak perlu tau akan hal ini. Walaupun Qalbi selalu bertanya dimana aku akan sekolah kelak. Aku selalu menggalihkan segala pembicaraan ke hal yang lain.

Seminggu lagi Qalbi akan berangkat ke Pesantren, tidak diragukan lagi dengan keahlian dia berbahasa arab dan ilmu nahwu yang ia miliki, walaupun masih umur 14 tahun ia sudah bisa menghafal 5 juz. Sedangan aku ?. Ahh.. Qalbi! ,desisku. Bersamaan dengan Qalbi memberiku novel, Qalbi berpamitan kepadaku juga kepada ayah ibuku.“Aku tetap saja diam dan tak ingin memberitahu dia bahwa sebenarnya ku juga akan pindah dari kota itu. Selamat tinggal Qalbi, semoga kita dipertemukan di lain waktu” gumanku dalam hati.
Langkah ke-lima saat Qalbi keluar dari rumahku, aku memanggilnya. Ku
berikan dia mushaf (Al-Qur’an) , hingga kami berdua terdiam, lalu senyum satu sama lain. Mulai meneteskan air mata. Cenggeng. Dia memang sahabatku. “Terima kasih Fay, semoga topi ini bermanfaat”,ucap Qalbi sambil menggulurkan tissue untuk menghapus air mataku. “aku akan menemui setiap aku pulang dari pesantren Fay, aku akan maen ke rumahmu” ucap Qalbi kali ini sambil melambaikan tanggan. Lelah, aku kembali ke dalam rumah.Dengan hati yang sangat berat, aku mulai melupakan Qalbi. Cukup itu perpisahan kami, tapi dia akan selalu menjadi sahabat terbaikku.
                                                                        ***
“Ayo Fay, segera masukan kopermu ke mobil, kita segera berangkat”, teriak ayah dari luar rumah. “Perjalanan ini benar-benar membosankan.Tidak ada sms dari Qalbi, Notification fb ku juga sepi. Qalbi yang  biasanya sering melawak saat sms, Qalbi yang sering bikin onar di akun fb dan twitter, kini sudah tidak lagi. Mungkin aku akan mendapatkan hal itu saat liburan. Lama sekalii!!”, eluhku dalam hati. Acap kali aku tidur saat dalam perjalanan yang memakan waktu behari-hari. Sesampainya di tempat tujan aku terbangun.
“Oh, kota ini. Bandung atau lebih dikenal dengan paris van java . Yes keren.Tapi, tanpa Qalbi sepertinya gak bakalan seru. Seandainya aku bisa menggajak Qalbi kesini, kita pasti bisa masuk sekolah  yang sama, menikmati segala aspek keindahan kota Bandung bersama-sama. Mestakung.
                                    ***
Selama beberapa tahun ini, aku lupa dengan nama Qalbi. Yah, walaupun aku tidak bisa menghilangkkan namanya dari ingatanku 100%. Pesona kota bandung yang selalu memberikan kesan elegan,  apalagi dibalut dengan suasana yang sejuk, membuat hati tentram,walau perlu diakui tidak semua orang bisa merasakannya. Tapi beruntungnya aku. Aku bisa masuk daftar orang yang bisa menikmati tempat itu, karena aku tinggal daerah dipuncak. Aku  sangat terpukau dengan tempat ini.  Suasana alam yang membuatku semakin kagum, setiap hari melewati kebun teh, embun pagi yang selallu menyapa ramah.Belum lagi aku bisa berkebun saat waktu senggang. Kedekatanku  dengan teman-temanku menggantikan suasana hati yang berkecamuk  saat aku tidak lagi bersama Qalbi.
Qalbi mungkin juga lupa denganku, atau mungkin dia marah karena aku tidak memberitahu akan perpindahanku. Dia mungkin enggan untuk menghubunggiku. Hatiku selalu berkecamuk saat berbicara tentang Qalbi. Tidak bisa dipungkiri ada hal yang tidak bisa aku ungkapkan. Aku rindu Qalbi. Sekali lagi hatiku berkecamuk. Apakah dia sama sekali tak merindkanku?. Segera kualihkan pikiranku. Kuhela nafas dalam-dalam kupejamkan mata lalu “ Ya Alloh jaga Qalbi, semoga kami bisa dipertemukan kembali”, ucapku dalam doa. Hal itu yang aku lakukan saat pikiranku tak bisa dipisakan dari ingatan nama Qalbi.
Ayah selalu menggajarkanku untuk menjaga hati, menggendalikan hawa nafsu, terlebih lagi dengan seorang yang bukan mahram, ayah memberikanku porsi belajar ilmu agama yang lebih besar. Ayah tak ingin aku lupa diri akan kehidupan dunia. Walau begitu, ayah tak pernah tau jika aku sangat rindu dengan Qalbi. Dan aku tak akan penah membaritahu Ayah, karena jika ayah tahu, ayah pasti akan sangat marah kepadaku.  
                                                                                    ***
Liburan semester pun datang, aku lebih banyak membantu ayah menggurus kebun, selain aku bisa mendapat penghasilan, aku juga bisa berkuda. Ayah mempunyai kawasan outbond disekitar kebun. Aku sangat terhibur dengan semua itu. Malam itu aku tidur terlelap, padahal jam baru menunjukkan angka 8 malam. Biasannya aku masih terjaga dari kantukku. Aku tebanggun tenggah malam, segera aku menggambil air wudhu dan sholat malam. Lalu aku melafadzkan surat Maryam. Selepas itu aku pergi keluar kamar untuk menggambil minum, terlihat pintu kamar ayah ibu terbuka sedikit lebar, mereka sedang berjamaah. Aku kembal ke kamar, ku cek hapeku, ada 10 panggilan tak terjawab, mungkin tidurku tadi malam terlalu pulas. Tapi siapa nomor ini, aku sama sekali tak menggenalnya. Tepat jam 3 pagi aku menelepon balik. Tapi nihil, tak ada jawaban darinya. Setelah aku menggulang pelajaran. Hape munggilku kembali bordering, kali ini sebuah pesan masuk benar-benar dari nomor itu. Mulai kubaca perlahan “Assalamualikum, maaf aku tadi tidak menggangkat teleponmu Fay, aku sedang sholat tahajjud. Semalam kemana saja , aku meneleponmu tapi sama sekali tidak ada jawaban. Apakah kamu lupa denganku?. Qalbi. Aku tercenggang, hatiku bergetar. Rasanya mustahil, ku balas sms tadi, tak berapa lama setelah aku menggirimkan sms, nomor itu meneleponku. Aku sedikit ragu, kupegang hape itu, kupandangi lekat-lekat. Hatiku berkecamuk. Kuletakkan kembali hape itu. Aku berusaha menghindar. Aku belum siap bebicara dengan Qalbi. Kuhela nafas dalam-dalam. Sesaat, aku cukup tenang. Tapi itu tak berjalan lama, hapeku  terus saja bergetar. “Assalamualaikum”, ucap Qalbi. Tak bisa kusembunnyikan wajah ceriaku. Pembicaraan kami penuh dengan basa-basi. Qalbi sangat berbeda. Sekarang  dia sudah sangat cakap berbicara. Hingga beberapa hari kami saling menelepon satu sama lain, hingga hari ke-7 kami kehilanggan kontak. Hatiku bertambah sakit setelah itu, aku kembali memulihkannya tapi tak bisa, karena ini bukan luka fisik, tapi luka batin hati. Sepertinya aku sedang ada perasaan yang lebih untuk Qalbi. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu aku berusaha melupakan kembali. Memang, ini lebih sulit.
Semenjak aku lulus S-1 ayah selalu mendesakku untuk menikah. Aku selalu menolakknya. Dengan berbagai alasan ayah terus memaksaku. Aku memohon kepada ayah, agar aku dapat menikah saat lulus S-2. Ayah sama sekali tak menghiraukan, keluarga kami masih memegang kental tradisi Jawa. Aku harus mau dijodohkan. Aku memang belum pacaran, tapi jika pilihan ayah tidak sesuai denganku? Apa yang akan aku lakukan?Aku selalu menumpahkan segala resah pada Qalbi. Segera kunyalakan laptopku dan aku menulis segala resah. Aku masih saja sabar menunggu Qalbi merespon. Ia bahkan sama sekali tak membuka FB. Kali ini hari ke-290. Aku mulai lelah menulis pesan kepada Qalbi. Kubuang jauh-jauh laptopku dari pandanganku. Sudah seminggu ini aku tak membuka Fb. Pada hari ke-297 ini aku harus bersanding dengan orang pilihan ayah. Mau tak mau aku harus menerimanya dan melupakn Qalbi selama-lamanya.
Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari yang paling istimewaa bagiku tapi nyatanya malah menjadi bencana bagiku. Aku mulai berontak dan aku mulai lemah. Aku mulai mendapatkan kekuatan ketika Ayah memelukku dan memberikan begitu banyak nasehat. “Ayah tapi tak menggerti bu, bahwa sejujurnya aku sangat mencintai Qalbi, ini hanya demi ayah, batinku. Aku berusaha tersenyum, wajahku pucat pasi. Seperti biasannya, aku menunggu dalam kamar munggilku yang sekarang sudah disulap menjadi kamar penggantin oleh beberapa orang suruhan ibu. Terisak tanggis dibailik pintu kamarku saat  ijab Kabul mulai di ucapkan. Ibu menjemputku seusai itu, seakan ibu tak menggerti apa yang terjadi padaku. Aku jarang sekali bercerita ada ibu, tapi beliau ibuku, aku berharap beliau menggerti peerasaan anaknya. Aku pasrah. Saat kakiku mulai melangkah menuju tempat ijab Kabul, hatiku mulai bergetar rasanya ada sesuatu yang hilang dari benakku. Sesaat aku melihat wajah Qalbi disini, seakan dia menjelma menjadi penggantin laki-laki dan akan bersanding denganku. Mungkin halusinasiku terlalu kuat. Aku berusaha menampakkan wajah ceriaku, aku mulai tersenyum dan mengusap sisa air mataku. Aku berusah kuat. Saat aku duduk ditempat pelaminan, aku benar-benar melihat wajah Qalbi disampinggku. Dan memang benar tenyata dia. Aku bersimpuh dihadapannya. Aku melihat ketulusannya saat dia mulai menggangkat pundakku dan mempersilaahkan aku duduk di sampingnya. Tuhan, aku mencintainya.

2 komentar:

kreatifitas anda saya tunggu. silahkan berkomentar apabila ada setuju atau tidaknya postingan yang saya suguhkan. tolong jaga nilai kesopanan. terimakasih.