Beranda rumah, beberapa hari ini menjadi tempat favoritku. Rintik
hujan sejak dua pekan
kemarin terus-menerus menyapaku ,
ditemani secangkir coklat panas dengan asap yang masih menggepul
diatasnya. Akhir-akhir ini, aku
mulai membiasakan diri untuk membaca buku setelah sholat ashar. Bukan
sekedar
novel tapi juga buku motivasi. Seiring itu, aku mulai belajar menulis, buku harian mulai penuh sesak
dengan coretan isi hati. Berbagai hal kulakuan agar bisa kukendalikan isi hatiku. Ya, tepatnya aku mulai merasa gelisah.
Kebiasaanku mulai berulang, kutempatkan laptop beserta perkakasnya diatas meja kayu lengkap
dengan coklat panas aroma rempah. Sembari kutulis bait-bait puisi bak Kahlil
Gibran, aku mulai merasa sedikit lega setelah kutuangkan dalam bait-bait puisi.
Konsentrasiku mulai buyar saat obrolan dari facebook berbunyi. Tak kuasa
menghindari rasa ingin tahu segera kusudahi tulisanku. tercengang, “lagi-lagi dia,”gumanku. Sewajarnya, dia memulai obrolan dengan salam dan sudah kewajibanku tuk menjawab. Dalam sanubari aku berharap dia
membalas dan membicangkan suatu entitas. Ku tak sanggup menafikan isi hati sendiri, selalu kunanti berbagai macam
bahasan topik darinya. Selang beberapa menit suara obrolan memecah lamunanku. Tawa kecil dan senyum tak bisa di sembunyikan, Dia membalas. Tidak setiap minggu aku
menjumpainya on di jejaring sosial. Sedang aku disini berulang kali menahan rasa
kesal, saat dia tak membalas pesanku yang menabun lama bahkan berbulan-bulan. Ah, aku merindukan dia.
ObrolanOff…..
Selalu begitu, pembicaraan kita terhenti di pertengahan jalan. Hanya kata pembuka tanpa pengakhiran yang jelas. Kau abaikan!. Seusai sholat Isya’ berjamaah dan membaca ayat suci Al-Qur’an, ku lanjut belajar hingga larut malam. Sunyi sekali, seusai belajar aku menikmati setiap jengkal sisi kamar mungilku yang di balut warna cat biru muda dengan berbagai hiasan dinding, hingga aku terhenti disalah satu sisi, disitu kuletakkan lukisan yang begitu membuatku terbuai, pemberian Qalbi. Begitu banyak kenangan aku dan Qalbi. Sudah sejak kecil kami selalu bersama, namun keluarga kami sangat berbeda bahkan menurut ayah aku tak pantas berteman dengan Qalbi.
Selalu begitu, pembicaraan kita terhenti di pertengahan jalan. Hanya kata pembuka tanpa pengakhiran yang jelas. Kau abaikan!. Seusai sholat Isya’ berjamaah dan membaca ayat suci Al-Qur’an, ku lanjut belajar hingga larut malam. Sunyi sekali, seusai belajar aku menikmati setiap jengkal sisi kamar mungilku yang di balut warna cat biru muda dengan berbagai hiasan dinding, hingga aku terhenti disalah satu sisi, disitu kuletakkan lukisan yang begitu membuatku terbuai, pemberian Qalbi. Begitu banyak kenangan aku dan Qalbi. Sudah sejak kecil kami selalu bersama, namun keluarga kami sangat berbeda bahkan menurut ayah aku tak pantas berteman dengan Qalbi.
Sahib kecil ku dulu, semasa kami 3 sd selalu bersama,
berjuumpa didepan gerbang sekolah merupakan agenda rutin kami, sesekali
menunggu satu sama lain datang, lalu berangkat menuju kelas bersama. Itupun
masih belum cukup, kadang kami masih melanjutkan bermain setelah pulang
sekolah. Kalau dia mendapat barang baru, aku
akan lekas merenggek meminta apa yang dia punya, begitu juga sebaliknya. Kemanapun selalu bersama
sampai-sampai saat akan masuk SMP kami tak mau berpisah. Begitulah kami, bahkan saat SMP kami selalu
bersama. Rupanya ayah khawatir dengan keadaan kedekatan kita. Ayah selalu
menjemputku dan melarangku untuk bersepeda. Dulunya, aku dan Qalbi selalu
bersama. Bahkan seringkali dia menjemputku saat akan berangkat ke sekolah.
Perubahan sikap ayah kepadaku membuat aku semakin menjauh dari Qalbi, bahkan
sekarng dia sudah jarang terlihat, sebagi ketua OSIS dia seakan semakin jauh
denganku, organisasi dan teman baru menyibukkannya. Duh!
Karena Ayahku mendapat tugas dinas dikota lain,
maka aku harus ikut pindah bersama orang tuaku, awalnya aku menolak keras
dengan alasan aku tidak akan melanjutkan sekolah jika harus pindah. Tetap saja
aku bersikeras, walaupun ayah memaksaku.Mengurung diri dikamar juga ikut
mendukung aksi demoku kepada Ayah. Tapi itu pun tak cukup membuat hati Ayah
luluh melihatnya. Bahkan Ayah semakin memaksaku untuk ikut pindah, kali ini
tidak dengan cara yang biasa Ayah lakukan, tidak lagi memberiku wejangan 10
kali lipat. Diam-diam Ayah sudah mendaftarkan aku untuk bersekolah di SMA favorit di kota tempat keluargaku
pindah nanti, tak lupa Ayah juga memblaclist semua sekolah yang sudah aku incar
dikota tempat tinggalku itu. Tujuannya agar aku mau ikut ayah pindah.
Terbesit rasa khawatir karena aku tidak bisa masuk sekolah. Aku
sempat mendengar rencana Ayah, dan aku tahu alasan terbesar kenapa Ayah
menggajakku pindah. Agar terjauh dari Qalbi. Ayah terlalu jahat dalam hal ini,
kenapa aku harus jauh dari sahabatku?. Apakah Ayah iri?. Mungkin hanya beberpa
tetes air mataku yang keluar karena aku tak terbiasa menanggis, tapi hati ku
terluka. Berlari ke kamar dan mengguncinya, karena saat itu aku masih dalam
keadaan labil, yang langsung meluapkan perasaan dengan marah-marah dan
mengacak-acak seisi kasurku.
Qalbi bukan anak nakal, juga bukan juga anak yang patut untuk
dijauhi, prestasinya juga tak kalah denganku dia juga seorang atlet lari saat
aku masih sd. Lalu kenapa ayah ingin menjauhkan Qalbi dariku?petanyaan itu
terus bergulat dalam benakku. Aku tak berani menggungkapkan. Aku terlalu takut
untuk bertannya kepada ayah.
Ujian sekolah sudah berlalu, pendaftaran SMA sudah mulai berjibun
berdatangan. Qalbi akan masuk pesantren. Apakah aku juga akan ikut? Ahh, tidak
mungkin. Aku harus ikut ayah. Apakah ke luar negeri? Tidak ! Lalu kemana? Yah, nanti lihat saja aku pasti akan tau
sendiri. Sekarang aku hanya bisa menunggu akan kepastian ayah. Sambil aku menunggu, aku bermain menghabiskan
masa-masa terakhir dengan Qalbi. Qalbi tak pernah tau dimana aku akan pindah.
Dan dia juga gak perlu tau akan hal ini. Walaupun Qalbi selalu bertanya dimana
aku akan sekolah kelak. Aku selalu menggalihkan segala pembicaraan ke hal yang
lain.
Seminggu lagi Qalbi akan berangkat ke Pesantren, tidak diragukan
lagi dengan keahlian dia berbahasa arab dan ilmu nahwu yang ia miliki, walaupun
masih umur 14 tahun ia sudah bisa menghafal 5 juz. Sedangan aku ?. Ahh.. Qalbi!
,desisku. Bersamaan dengan Qalbi memberiku novel, Qalbi berpamitan kepadaku
juga kepada ayah ibuku.“Aku tetap saja diam dan tak ingin memberitahu dia bahwa
sebenarnya ku juga akan pindah dari kota itu. Selamat tinggal Qalbi, semoga
kita dipertemukan di lain waktu” gumanku dalam hati.
Langkah ke-lima saat Qalbi keluar dari rumahku, aku memanggilnya. Ku berikan dia mushaf (Al-Qur’an) , hingga kami berdua terdiam, lalu senyum satu sama lain. Mulai meneteskan air mata. Cenggeng. Dia memang sahabatku. “Terima kasih Fay, semoga topi ini bermanfaat”,ucap Qalbi sambil menggulurkan tissue untuk menghapus air mataku. “aku akan menemui setiap aku pulang dari pesantren Fay, aku akan maen ke rumahmu” ucap Qalbi kali ini sambil melambaikan tanggan. Lelah, aku kembali ke dalam rumah.Dengan hati yang sangat berat, aku mulai melupakan Qalbi. Cukup itu perpisahan kami, tapi dia akan selalu menjadi sahabat terbaikku.
Langkah ke-lima saat Qalbi keluar dari rumahku, aku memanggilnya. Ku berikan dia mushaf (Al-Qur’an) , hingga kami berdua terdiam, lalu senyum satu sama lain. Mulai meneteskan air mata. Cenggeng. Dia memang sahabatku. “Terima kasih Fay, semoga topi ini bermanfaat”,ucap Qalbi sambil menggulurkan tissue untuk menghapus air mataku. “aku akan menemui setiap aku pulang dari pesantren Fay, aku akan maen ke rumahmu” ucap Qalbi kali ini sambil melambaikan tanggan. Lelah, aku kembali ke dalam rumah.Dengan hati yang sangat berat, aku mulai melupakan Qalbi. Cukup itu perpisahan kami, tapi dia akan selalu menjadi sahabat terbaikku.
***
“Ayo Fay, segera masukan kopermu ke mobil, kita segera berangkat”,
teriak ayah dari luar rumah. “Perjalanan ini benar-benar membosankan.Tidak ada
sms dari Qalbi, Notification fb ku juga sepi. Qalbi yang biasanya sering melawak saat sms, Qalbi yang
sering bikin onar di akun fb dan twitter, kini sudah tidak lagi. Mungkin aku
akan mendapatkan hal itu saat liburan. Lama sekalii!!”, eluhku dalam hati. Acap
kali aku tidur saat dalam perjalanan yang memakan waktu behari-hari. Sesampainya
di tempat tujan aku terbangun.
“Oh, kota ini. Bandung atau lebih dikenal dengan paris van java .
Yes keren.Tapi, tanpa Qalbi sepertinya gak bakalan seru. Seandainya aku bisa
menggajak Qalbi kesini, kita pasti bisa masuk sekolah yang sama, menikmati segala aspek keindahan
kota Bandung bersama-sama. Mestakung.
***
Selama beberapa tahun ini, aku lupa dengan nama Qalbi. Yah,
walaupun aku tidak bisa menghilangkkan namanya dari ingatanku 100%. Pesona kota
bandung yang selalu memberikan kesan elegan,
apalagi dibalut dengan suasana yang sejuk, membuat hati tentram,walau
perlu diakui tidak semua orang bisa merasakannya. Tapi beruntungnya aku. Aku
bisa masuk daftar orang yang bisa menikmati tempat itu, karena aku tinggal
daerah dipuncak. Aku sangat terpukau
dengan tempat ini. Suasana alam yang
membuatku semakin kagum, setiap hari melewati kebun teh, embun pagi yang
selallu menyapa ramah.Belum lagi aku bisa berkebun saat waktu senggang. Kedekatanku dengan teman-temanku menggantikan suasana
hati yang berkecamuk saat aku tidak lagi
bersama Qalbi.
Qalbi mungkin juga lupa denganku, atau mungkin dia marah karena aku
tidak memberitahu akan perpindahanku. Dia mungkin enggan untuk menghubunggiku.
Hatiku selalu berkecamuk saat berbicara tentang Qalbi. Tidak
bisa dipungkiri ada hal yang tidak bisa aku ungkapkan. Aku
rindu Qalbi. Sekali lagi hatiku berkecamuk. Apakah dia sama sekali tak
merindkanku?. Segera
kualihkan pikiranku. Kuhela nafas dalam-dalam kupejamkan mata lalu “ Ya Alloh
jaga Qalbi, semoga kami bisa dipertemukan kembali”, ucapku dalam doa. Hal itu yang aku lakukan saat pikiranku tak bisa dipisakan dari
ingatan nama Qalbi.
Ayah selalu menggajarkanku untuk menjaga hati, menggendalikan hawa
nafsu, terlebih lagi dengan seorang yang bukan mahram, ayah memberikanku porsi
belajar ilmu agama yang lebih besar. Ayah tak ingin aku lupa diri akan
kehidupan dunia. Walau begitu, ayah tak pernah tau jika aku sangat rindu dengan
Qalbi. Dan aku tak akan penah membaritahu Ayah, karena jika ayah tahu, ayah
pasti akan sangat marah kepadaku.
***
***
Liburan semester pun datang, aku lebih banyak membantu ayah menggurus
kebun, selain aku bisa mendapat penghasilan, aku juga bisa berkuda. Ayah
mempunyai kawasan outbond disekitar kebun. Aku sangat terhibur dengan semua
itu. Malam itu aku tidur terlelap, padahal jam baru menunjukkan angka 8 malam. Biasannya
aku masih terjaga dari kantukku. Aku tebanggun tenggah malam, segera aku
menggambil air wudhu dan sholat malam. Lalu aku melafadzkan surat Maryam.
Selepas itu aku pergi keluar kamar untuk menggambil minum, terlihat pintu kamar
ayah ibu terbuka sedikit lebar, mereka sedang berjamaah. Aku kembal ke kamar,
ku cek hapeku, ada 10 panggilan tak terjawab, mungkin tidurku tadi malam terlalu pulas.
Tapi siapa nomor ini, aku sama sekali tak
menggenalnya. Tepat jam 3 pagi aku menelepon balik. Tapi
nihil, tak ada jawaban darinya. Setelah aku menggulang pelajaran. Hape munggilku kembali bordering,
kali ini sebuah pesan masuk benar-benar dari nomor itu. Mulai kubaca perlahan
“Assalamualikum, maaf aku tadi tidak menggangkat teleponmu Fay, aku sedang
sholat tahajjud. Semalam kemana saja , aku meneleponmu tapi sama sekali
tidak ada jawaban. Apakah kamu lupa denganku?. Qalbi. Aku tercenggang, hatiku bergetar. Rasanya
mustahil, ku balas sms tadi, tak berapa lama setelah aku menggirimkan sms,
nomor itu meneleponku. Aku sedikit ragu, kupegang hape itu, kupandangi
lekat-lekat. Hatiku berkecamuk. Kuletakkan kembali hape itu. Aku berusaha
menghindar. Aku belum siap bebicara dengan Qalbi. Kuhela nafas dalam-dalam. Sesaat,
aku cukup tenang. Tapi itu tak berjalan lama, hapeku terus saja bergetar. “Assalamualaikum”, ucap
Qalbi. Tak bisa kusembunnyikan wajah ceriaku. Pembicaraan kami penuh dengan
basa-basi. Qalbi sangat berbeda. Sekarang dia sudah sangat cakap berbicara. Hingga
beberapa hari kami saling menelepon satu sama lain, hingga hari ke-7 kami
kehilanggan kontak. Hatiku bertambah sakit setelah itu, aku kembali
memulihkannya tapi tak bisa, karena ini bukan luka fisik, tapi luka batin hati.
Sepertinya aku sedang ada perasaan yang lebih untuk Qalbi. Namun bersamaan
dengan berjalannya waktu aku berusaha melupakan kembali. Memang, ini lebih
sulit.
Semenjak aku lulus S-1 ayah selalu mendesakku
untuk menikah. Aku selalu menolakknya. Dengan berbagai
alasan ayah terus memaksaku. Aku memohon kepada ayah, agar aku dapat menikah saat lulus S-2.
Ayah sama sekali
tak menghiraukan, keluarga kami masih memegang kental tradisi Jawa. Aku harus mau dijodohkan. Aku memang
belum pacaran, tapi jika pilihan ayah tidak sesuai denganku? Apa yang akan aku
lakukan?Aku selalu menumpahkan segala resah pada Qalbi. Segera kunyalakan laptopku dan
aku menulis segala resah. Aku masih saja sabar menunggu Qalbi merespon. Ia
bahkan sama sekali tak membuka FB. Kali ini hari ke-290. Aku mulai lelah
menulis pesan kepada Qalbi. Kubuang jauh-jauh laptopku dari pandanganku. Sudah
seminggu ini aku tak membuka Fb. Pada
hari ke-297 ini aku harus bersanding dengan orang pilihan ayah. Mau
tak mau aku harus menerimanya dan melupakn Qalbi selama-lamanya.
Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari yang paling istimewaa
bagiku tapi nyatanya malah menjadi bencana bagiku. Aku mulai berontak dan aku
mulai lemah. Aku mulai mendapatkan kekuatan ketika Ayah memelukku dan
memberikan begitu banyak nasehat. “Ayah
tapi tak menggerti bu, bahwa sejujurnya aku sangat mencintai Qalbi, ini hanya demi ayah”,
batinku. Aku berusaha tersenyum, wajahku pucat pasi. Seperti biasannya, aku menunggu dalam
kamar munggilku yang sekarang sudah disulap menjadi kamar penggantin oleh
beberapa orang suruhan ibu. Terisak
tanggis dibailik pintu kamarku saat ijab
Kabul mulai di ucapkan. Ibu menjemputku seusai itu, seakan ibu tak menggerti
apa yang terjadi padaku. Aku jarang sekali bercerita
ada ibu, tapi beliau ibuku, aku berharap beliau menggerti peerasaan anaknya. Aku
pasrah. Saat
kakiku mulai melangkah menuju tempat ijab Kabul, hatiku mulai bergetar rasanya
ada sesuatu yang hilang dari benakku. Sesaat aku melihat wajah Qalbi disini,
seakan dia menjelma menjadi penggantin laki-laki dan akan bersanding
denganku. Mungkin halusinasiku terlalu kuat. Aku berusaha menampakkan wajah ceriaku,
aku mulai tersenyum dan mengusap sisa air mataku. Aku berusah kuat. Saat aku
duduk ditempat pelaminan, aku benar-benar melihat wajah Qalbi disampinggku. Dan
memang benar tenyata dia. Aku bersimpuh dihadapannya. Aku melihat ketulusannya
saat dia mulai menggangkat pundakku dan mempersilaahkan aku duduk di
sampingnya. Tuhan, aku mencintainya.
bagus anas cerpennya :D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus